>

Thursday, June 16, 2011

NASI KERAK PAK SADIKUN

By: Niken | Kesaksian | 03 November 2008, 11:11:16 | Dibaca: 990 kali
Abiyatar Solet Nenobisi Rumah kontrakan berukuran 3 x 5 meter keluarga Pak Sadikun benar-benar reyot. Kayu penyangganya terlihat rapuh. Rumah itu cenderung tak layak huni. Hari itu adalah kunjunganku yang kedua. Lebih jelas kulihat wajah Pak Sadikun, kerut wajahnya, garis-garis tua itu.

Pak Sadikun adalah salah satu dari lima orang yang kulayani ketika pertama membuka pelayanan di Kecamatan Kutowinangun, Kebumen, Jawa Tengah. Kelima jemaat mula-mula ini memiliki keadaan ekonomi yang cukup berat. Bahkan 2 orang, Ades dan Anton tinggal bersama kami karena tidak punya tempat tinggal.

Hati Pak Sadikun terbuka bagi Injil. Ia sangat memerhatikan ketika aku menyampaikan firman Tuhan. Sama seperti siang itu menerima kedatanganku dengan ramah.

Pembicaraan panjang lebar siang itu membuatku semakin mengenal Pak Sadikun. Kondisi ekonominya benar-benar sulit. Untuk mengurangi beban, kedua anaknya dititipkan kepada saudaranya. Pekerjaan Pak Sadikun berjualan es tong tong keliling. Es yang dijual seharga Rp 500.

Pemberian Aneh
Tatkala aku pamit pulang, Pak Sadikun menyerahkan bungkusan berat di kantong plastik hitam dengan wajah sumringah. Aku terharu. Orang sesederhana Pak Sadikun masih bisa memberi.

Sampai di rumah aku buka plastik hitam itu. Hampir tak percaya melihatnya. Nasi kerak yang sudah berjamur kehijau-hijuan. Aku pandangi pemberian aneh itu. Meskipun tak mengerti maksudnya tapi tak sedikitpun aku merasa terhina. Karena aku sangat yakin ketulusan Pak Sadikun.

Dua hari kemudian, aku tak punya uang. Aku dan isteriku Erlin memeriksa persediaan makanan di dapur. Hasilnya sama saja. Kami tak menemukan bahan makanan. Kaleng beras kosong melompong. Aku pandangi isteriku yang juga hanya diam. Aku masuk kamar berdoa. Air mata tak dapat kutahan. Tangisku meledak. Isteriku yang semula ingin berdoa bersama, aku beri isyarat untuk membiarkanku sendirian. Sebelumnya kami sharing. Aku sempat menyarankan agar dia pulang ke rumah orangtuanya, untuk sementara waktu hingga pelayananku berhasil.

Gagasan itu rupanya lebih berat mengguncang perasaan, dari pada rasa lapar yang menghentak perutku. Memulangkan isteri? Ampun Tuhan….air mataku terus menetes, aku tak peduli pada tangisku.
Tiba-tiba aku teringat pemberian pak Sadikun, apakah ini maksud Tuhan menyediakan bagi kami?
Nasi kering berjamur itu pun sepakat kami masak. Berulangkali nasi dicuci sebelum ditanak. Lauknya? Parutan kelapa seharga Rp 1.000,- uang pemberian dari seorang jemaat.

Nasi dari Pak Sadikun telah mengenyangkan perut kami. Dua hari berturut-turut kami memakannya. Itupun harus diirit dengan meniadakan makan pagi. Mungkinkah itulah makanan sehari-hari keluarga Pak Sadikun? Tentunya apa yang kami terima adalah sesuatu yang berharga bagi mereka.

Saat persediaan nasi tiris, ada undangan pelayanan ke daerah Ambal, 12 km dari Kutowinangun. Aku dan isteri naik motor, sedangkan Anton dan Ades berboncengan sepeda onthel.

Bu Maria dan Pak Saudi pemilik rumah mengajak makan seusai acara doa bersama. Tentu saja kami sangat menikmatinya. Ketika pamit pulang, keluarga Pak Saudi telah menyiapkan sekarung beras. Kaget bukan main. Kami berempat saling berpandangan.

Sepanjang perjalanan pulang beberapa kali kuseka air mataku, namun aku juga tersenyum melihat cara Tuhan memerhatikan kehidupan kami.

Setiap kali melihat televisi tentang makin banyaknya orang makan nasi aking, ku teringat dengan Pak Sadikun. Nasi akingnya telah menolong kami dari kelaparan.

Merintis Usaha
Untuk mendukung pelayananku setahun ini aku merintis usaha kecil-kecilan, berjualan ayam goreng ala “Kentucky” di pinggir jalan. Pada awalnya aku sendirilah yang mendorong gerobak sekaligus jualan. “Malam hari Pak Pendeta pakai dasi, siang hari ndorong gerobak.” Itulah komentar dari beberapa orang yang pernah ku dengar. Menanggapi itu aku hanya senyum saja.

Tuhan memberkati usahaku, kini aku punya orang untuk mengurus bisnis kecilku itu. Lima tahun sudah kulewati pelayanan di Kutowinangun. Betapa bahagianya aku melihat banyak orang mengenal Tuhan Yesus, seperti Pak Sadikun.

Sumber: Majalah Bahana, November 2008

No comments :

Post a Comment

Tiggalkan komentar anda termasuk kritik/saran,pertanyaan,pendapat,dsb. Kami akan menghapus coment yang menjurus pada SARA. Terimakasih, GBU.


Photobucket>
Pangkalan Bun akan dipenuhi kemuliaan.Amin